Mekanisme Keuangan Syariah Berbasis Bagi Hasil


Mekanisme Keuangan Syariah
Berbasis Bagi Hasil

          Hal yang paling mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah persoalan mekanisme dalam sistem transaksinya. Dimana dalam sebuah perbankan syariah adalah penggunaan mekanisme bagi hasil sedangkan perbankan konvensional adalah mekanisme dengan prinsip bunga. Sistem ekonomi islam, melarang dengan jelas tentang prinsip riba didalam setiap kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, dalam perbankan syariah lebih menekankan sebuah mekanisme bagi hasil yang dinilai jauh lebih baik daripada penggunaan mekanisme bunga atau riba.
       Bagi hasil merupakan suatu sistem pengelolaan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib). Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dibagi menjadi lima aad, yakni : syirkah a’mal, syirkah mudharabah, syirkah wujuh, syirkah ‘inan, dan syirkah mufawadhah. Namun, yang lebih sering dikenal adalah, mudharabah dan musyarakah. Musyarakah sendiri merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi bersama. Dimana kesepakatan antara kerugian dan keuntungan akan ditanggung bersama. Sedangkan mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan 100 % modalnya dan sedangkan pihak kedua sebagai pengelola.
            Sistem bagi hasil sudah mengacu pada SBIS. Dalam bagi hasil ini sistem pendanaan antara bank konvensional dan bank syariah harus dipisahkan serta harus di screaning oleh pengawas dari bank itu sendiri. Dalam penggunaan sistem bagi hasil sendiri, ada beberapa resiko yang harus dijalani oleh perbankan syariah. Pertama adalah risiko pasar (market risk), yang dimaksud dengan risiko pasar adalah risko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar (adverse moment) berupa suku bunga dan nilai tukar. Risiko pasar ini mencakup empat hal yaitu risiko tingkat suku bunga (interest rate risk), risiko pertukaran mata uang (foreign exchange risk), risiko harga (price risk), dan risiko likuiditas (liquidity risk). Risiko tingkat suku bunga (interest rate risk) Risiko tingkat suku bungan adalah risiko yang timbul sebagai akibat dari fluktuasi tingkat bunga. Meskipun bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga, tetapi bank syariah tidak akan terlepas dari risiko tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pasar yang dijangkau bank syariah tidak hanya nasabah yang loyal penuh terhadap syariah. Risiko pertukaran mata uang (foreign exchange risk). Risiko pertukaran mata uang adalah suatu konsekuensi sehubungan dengan pergerakan atau fluktuasi nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun bank syariah tidak terpengaruh risiko kurs secara langsung hal ini karena adanya sayarat tidak boleh melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, tetapi bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing. Risiko valas ini akan meningkat jika jumlah porsi yang diambil besar, baik posisi long maupun short, dan fluktuasi pasar tinggi. Oleh karena itu, bank syariah perlu menetapkan exposure limit, transaction limit, currency limit, turnover limit, cut loss limit, intraday limit, dan counterparty limit. Risiko harga (price risk) adalah kemungkinan kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan. Untuk perbankan syariah, disamping risiko tersebut yang masih sangat terbatas (obligasi, reksadana, dan saham syariah). juga terkait risiko harga komoditas baik dalam transaksi ijarah, murabahah, salam, istisna’, dan ijarah muntahiyah bit tamliki (IBMT).
Risiko tersebut terjadi bila harga yang dibeli atau dipesan turun, sehingga nasabah tidak berminat untuk membeli, meskipun pada awalnya telah setuju untuk membeli. Sebaliknya, bila harga naik, maka secara tidak langsung bank akan terkena risiko tingkat suku bunga.  Risiko likuiditas (liquidity risk) adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidak mampuan bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Sebagaimana bank-bank pada umumnya, bank syariah juga menghadapi risiko likuiditas seperti sebagai berikut: Turunnya kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan, khususnya bank syariah, Ketergantungan terhadap sekelompok deposan, Dalam mudharabah kontrak, kemungkinan nasabah untuk menarik dananya kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Mismatching antara dana jangka pendek dengan pembiayaan jangka panjang, keterbatasan instruemen keuangan untuk solusi likuiditas, bagi hasil antar bank kurang menarik, hal ini karena final settlement-nya harus menunggu selesainya perhitungan cash basis pendapatan bank yang biasanya baru terlaksana pada akhir bulan.
 Risiko Kredit/Pembiayaan (credit risk) adalah risiko dari kemungkinan terjadinya kerugian bank sebagai akibat dari tidak dilunasinya kembali kredit/pembiayaan yang diberikan bank kepada debitur atau counterparty lainnya Risiko pembiayaan muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga nisbah bagi hasil dari pinjaman yang diberikan atau invstasi yang sedang dilakukan. Penyebab utama terjadinya risiko pembiayaan adalah terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. Risiko ini akan semakin nampak ketika Perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengakibatkan berkurangnya penghasilan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal ini semakin di perberat dengan meningkatnya tingkat bunga, dan ketika bank akan mengeksekusi kredit macetnya, bank tidak memperoleh hasil yang memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikannya. Risko ini dapat ditekan dengan cara memberikan batas wewenang keputusan kredit bagi setiap aparat perkreditan, berdasarkan kapabilitasnya (authorize limit) dan batas jumlah (pagu) pembiayaan yang dapat diberikan pada usaha atau perusahaan tertentu (credit line limit), serta melakukan diversifikasi . Dalam bank syariah, risiko kredit/pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi.
 Risiko Operasional (operational risk) adalah risiko terjadinya kerugian bagi bank yang diakibatkan oleh ketidak cakapan atau kegagalan proses dalam memanajemen bank, sumber daya manusia, dan sistem. Risiko kerugian tersebut dapat pula terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor diluar bank. Risiko ini mencakup lima hal yaitu, risiko risiko kepatuhan (reputation risk), risikom transaksi (compliance risk), risiko strategis (strategic risk), dan risiko hukum (legal risk) (Adiwarman, 2006: 275). Dampak dari risiko opersaional tersebut dapat berupa:  Penarikan besar-besaran terhadap dana pihak ketiga,  Timbul masalah likuidasi, Ditutup oleh Bank Indonesia (BI), Kegiatan mobilisasi dan penanaman dana (opersaioanal) sangat ditentukan dapat tidaknya bank dalam mengelola berbagai risiko yang berklaitan dengan usaha tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen Persediaan Dalam Keuangan Syariah

Spekulasi, Proyeksi, dan Bisnis/Investasi Dalam Islam

struktur modal dalam keuangan syariah